- ID 21500-4 400-430-433
- File
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
7 results with digital objects Show results with digital objects
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Raden Mattaher terlahir dengan nama Raden Mohammad Tahir (lahir di dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI, Jambi, 1871 - meninggal di dusun Muaro Jambi, 10 September 1907) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dari Jambi, dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Perjuangan Raden Mattaher
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Abunjani merupakan anak seorang demang yang berkedudukan di Rantau Panjang, Batang Asai yang bernama Demang Makalam. Demang Makalam berasal dari Pondok Tinggi, Kerinci, sedangkan ibunya bernama Siti Umbuk berasal dari Desa Keladi.
Abunjani yang lahir pada 24 Oktober 1918 merupakan anak keempat dari 5 bersaudara dengan urutan sebagai berikut: Siti Rodiah, M. Kamil, Siti Raimin, dan adiknya M. Sayuti.
Kedudukan orang tuanya sebagai demang memberi kesempatan untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan formal. Pada usia 8 tahun Abunjani bersama kakaknya, M. Kamil, dikirim ke Jambi untuk bersekolah di bawah asuhan Ali Sudin (keponakan Makalam) yang saat itu (1926) telah bekerja sebagai jurutulis (klerk) di kantor Kontrolir Jambi.
Oleh beberapa pertimbangan, Makalam menitipkan kedua anaknya pada temannya yang berkebangsaan Belanda yang bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila M. Kamil dan Abunjani mahir berbahasa Belanda.
Secara berturut-turut, tahun 1931 Abunjani berhasil menamatkan pendidikan di Hollandsc-Inlandsche School (HIS) selama 7 tahun dan tahun 1934 menamatkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bandung.
Pada 1940 Abunjani mengikuti pendidikan di Middelbare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaar (MOSCVIA) di Bandung, tetapi tidak tamat karena berlangsungnya pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang ini Abunjani menamatkan pendidikan di Shonan Kao Kun Renjo (Sionanto) di Singapura selama 1 tahun. Abunjani kemudian diangkat sebagai asisten Ki Imuratyo. Pendidikan militer ini kemudian diteruskan ke akademi militer Giyugun di Pagaralam, Lahat dengan pangkat tamatan Letnan Dua (Shoi).
Alumni pendidikan Angkatan Darat (Kanbu Kyoyiku tai) Jepang ini merupakan cikal bakal tentara nasional di masing-masing daerahnya. Abunjani sebagai Sudantyo Giyugun dari tahun 1942-1945 yang mempunyai kemampuan bahasa Belanda, Inggris, Jepang sangat berguna dalam kiprahnya di dunia bisnis selepas menanggalkan karir militernya.
Peran Abunjani di Masa Awal Kemerdekaan
Menyusul menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, masyarakat Indonesia mulai bergerak untuk memerdekakan diri. Berbagai gerakan di pusat pemerintahan Jakarta membawa situasi yang berkembang cepat untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut.
Berita kekalahan Jepang oleh sekutu cepat beredar dalam 2 garis. Garis pertama adalah reaksi cepat memanfaatkan peralihan kekuasaan Jepang ke tangan elit-elit politik Indonesia dengan tokoh-tokoh militer Indonesia yang mendapat kesempatan dari pejabat Pemerintahan Jepang di Jakarta. Garis kedua, jalur Pemerintah Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan alasan kalahnya Jepang maka Indonesia kembali dalam status jajahan Belanda.
Bagi Belanda, Proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 adalah hadiah Jepang karena usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merupakan rangkaian proes yang dipersiapkan bersama Jepang. Selain itu, kemerdekaan Indonesia itu berarti hilangnya penguasaan atas negara jajahan sejak abad XVII.
Berita Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tersebar di pelosok Indonesia melalui berita-berita radio yang dikirim oleh orang-orang Indonesia yang bekerja di kantor radio dan telegrap Jepang. Dr. A. K. Gani di Palembang mengabarkan via telepon kepada R. Soedarsono di pertambangan minyak Bajubang Jambi pada 18 Agustus 1945. Abdullah Karta Wirana, seorang tokoh pergerakan Jambi yang bekerja sebagai pejabat penting di Jawatan Penerangan Jepang (Hodokan) pada 20 Agustus 1945 menggalang tokoh politik dan pemuda Jambi untuk bersatu dalam sikap memerdekakan Jambi.
Bendera Merah Putih dikibarkan di puncak menara air oleh para pemuda Jambi, antara lain R. Hoesen, Akipo, dan Amin Aini. Sementara itu, Kantor Pengadilan Jepang (dekat RS. Thersia sekarang) beberapa pejuang, seperti Zuraida, Nuraini, Sri Rexeki, Nurlela, dan Nursiah menurunkan bendera Jepang (Hinomaru) dan menggantinya dengan menaikan bendera Merah Putih. Praktis pada 22 Agustus 1945 bendera Merah Putih berkibar di Jambi dan beberapa kota lainnya di Keresidenan Jambi.
Pada tanggal tersebut merupakan awal gerakan kemerdekaan Indonesia di Jambi, yaitu terbentuknya Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diketuai oleh Abunjani. API ini bertugas menjaga ketertiban, keamanan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan.
Menindaklanjuti pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan Badan Penolong Keluarga Perang (BPKKP) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum di Jakarta, pada 25 Agustus 1945 terbentuklah KNI Jambi yang dilantik pada Oktober 1945.
Selain mengetuai BKR, Abunjani juga ditunjuk mengetuai kelompok pemuda dari KNI. Pada 5 Oktober 1945 BKR diganti namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan komandannya Abunjani yang berpangkat Kolonel.
Pada 24 Juni 1946 TKR pun dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan Jambi kesatuannya menjadi Resimen II Devisi II Jambi sebagai bagian dari Sumatera Selatan. Sebelumnya, pada 17 Juni 1946 diadakan penyempurnaan susunan Dewan Pertahanan Daerah Keresidenan Jambi yang diketuai Inu Kertapati dan Kolonel Abunjani sebagai wakil ketua. Residen II Divisi II pada 3 Juni 1947 dirubah lagi menjadi Resimen 43 Jambi dan terakhir menjadi Brigade Garuda Putih.
Pada 10 September 1947 menyusul Agresi Belanda, Keresidenan Jambi dibentuk Komando Daerah Militer Jambi dengan komandannya Kolonel Abunjani dan wakilnya Letnan Kolonel Tituler R. Soedarsono. Komando Daerah Militer Jambi kemudian pada 1 Juni 1948 menjadi TNI Sub Teritorium Djambi (STD) sebagai bagian TNI Sub Komando Sumatera Selatan (Sub KOSS) dengan komandannya Kolonel Abunjani.
Dalam kedudukannya sebagai Komandan STD Jambi merangkap pimpinan Komando Daerah Militer Brigade Garuda Putih dipegang sejak Juni 1948 hingga Januari 1949. Adanya kebijakan rasionalisasi di kalangan TNI, pangkat Kolonel Abunjani diturunkan menjadi Letnan Kolonel. Walaupun demikian, Letnan Kolonel Abunjani tetap di militer dengan jabatan rangkap sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan khusus daerah Jambi, juga sebagai Komandan STD sampai pertengahan Januari 1950.
Terhitung Februari 1950 Letnan Kolonel Abunjani mengundurkan diri dari TNI beralih profesi menjadi seorang pengusaha di Jambi dan Jakarta. Salah satu peran Abunjani dalam menunjang perjuangan di masanya adalah membentuk Badan Keuangan Perjuangan yang memobilisasi pedagang karet ke Singapura dengan menyisihkan 10% keuntungan untuk perjuangan.
Usaha tersebut selain dapat membantu perjuangan Pemerintah Pusat, sewa-beli Pesawat Catalina (RI 05) sebagai pesawat penghubung ke Sumatera Barat maupun Yogyakarta dalam jaringan pemerintahan, juga memasok perlengkapan dan perbekalan pasukan dengan sistem barter komoditi lada, vanili, karet, dan lain-lain.
Peran yang perlu dicatat kepemimpinan Letnan Kolonel Abunjadi adalah memindahkan pusat pemerintahan dan pertahanan militer saat serangan Belanda pada 29 Desember 1948.
Bersama dengan Raden Inu Kertapati dan M. Kamil mengungsi ke pedalaman, tetapi terhenti di Sengeti. Rd. Inu Kertapati kembali ke Jambi untuk menenangkan keluarga dan masyarakat kota Jambi oleh bombardir pesawat dan serangan tentara Belanda melalui Kenali Asam dan Palmerah.
Pada 1 Januari 1949 terbitlah surat kuasa Residen Jambi Raden Inu Kertapati kepada M. Kamil, Bupati Jambi Hilir untuk meneruskan Pemerintahan Darurat Keresidenan Jambi. Dalam rapat antara unsur pemerintah dan militer di Tebo menghasilkan keputusan bahwa H. Baksan yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jambi Ulu sebagai Residen Pemerintah Darurat Keresidenan Jambi dan Pusat Komando Militer dipindahkan ke Bangko. Walaupun mengalami berbagai gempuran, perjuangan dan pemerintahan darurat berjalan sebagaimana mestinya.
*Penulis merupakan budayawan Jambi. Selain artikel, karya tulisnya juga terbit dalam bentuk buku, seperti Mencari Jejak Sangkala, Rangkayo Hitam, Sejarah Kota Jambi, Kumpulan Pantun, Kumpulan Syair, dan beberapa tulisan di prosiding seminar dan konferensi serta buku hasil kolaborasi dengan penulis lain, untuk menyebut contoh, seperti sejarawan Lindayanti dan Ujang Hariadi dalam judul Jambi dalam Sejarah (1500-1942). Pemuatan tulisan ini atas seizin yang bersangkutan.
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Depati Parbo lahir di Desa Lolo, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Ia memiliki nama kecil Mohammad Kasib dan akrab disapa Karib. Ayahnya bernama Bimbe, sedangkan ibunya bernama Kembang. Beberapa kajian mendapati bahwa nama sebenarnya Depati Parbo saat kecil adalah Ahmad Karib.
Depati Parbo memiliki tiga orang saudara perempuan yang bernama Bende, Siti Makam, dan Likom. Sejak kecil ia dikenal memiliki berbagai keanehan, antara lain, memiliki gigi geraham berwarna kehitaman. Oleh karena itu, masyarakat setempat memanggil Karib dengan Germon Besol.
Sebagaimana di kampung lainnya di Kerinci, sebagai seorang remaja, Karib ikut dan menggeluti seni bela diri silat serta ilmu agama yang dilengkapi ilmu kebatinan. Setelah dewasa Karib mempersunting seorang gadis bernama Timah Sahara dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ali Mekah.
Mengemban tugas sebagai seorang suami dan ayah, Karib memilih merantau ke Batang Asai mengikuti jejak sejumlah orang Kerinci merantau bekerja sebagai pendulang emas. Selain ke Batang Asai, Karib juga melanglang buana ke beberapa daerah di Sumatera Selatan, seperti Rawas. Selain mencari nafkah menyambung hidup, beliau juga aktif mencari ilmu bela diri dan kebatinan. Petualangan ini dilakukannya sejak 1859 hingga 1862.
Sebagai pemuda cerdas dan terampil di kampungnya, Karib dilantik dan dikukuhkan sebagai seorang depati dalam sebuah upacara tradisional kanduhai sko (kenduri pusako). Karib diberi gelar Depati Parbo. Dalam makna lain, Karib tidak hanya memikirkan kehidupan keluarga saja, tetapi sebagai Depati beliau juga harus memikirkan masyarakatnya, bahkan hingga ke Kesultanan Jambi.
Serangan ke Belanda
Saat melakukan pengawasan di wilayah Gunung Raya, Belanda yang datang ke Kerinci mendirikan pos patroli pada 1900 dengan memanfaatkan tenaga pribumi sebagai kuli, Depati Parbo bersama sejumlah hulubalang mengatur siasat untuk menyerang pos patroli tersebut.
Itulah pertempuran pertama di Kerinci, tepatnya di Renah Manjuto, berkecamuk antara hulubalang Kerinci di bawah pimpinan Depati Parbo dengan pasukan Belanda. Akibat pertempuran yang terjadi pada 1901 dengan banyak korban di pihak Belanda memaksa mereka mengurungkan niat memasuki Kerinci. Walaupun demikian, pada Oktober 1901 sejumlah 120 orang pasukan Belanda yang berada di Indrapura bersiap-siap menyerang Kerinci.
Pada Maret 1902 sejumlah 500 orang pasukan Belanda di bawah pimpinan Komandan Bolmar mendarat di Muarosakai dengan Tuanku Regen sebagai penunjuk jalan ke Kerinci. Belanda menyerang ke tiga tempat di Kerinci seperti Renah Manjuto, Koto Limau Sering, dan Temiai. Perang hebat pun berkecamuk di ketiga tempat tersebut, tetapi setelah Koto Limau Sering dikuasi, pasukan Belanda tanpa kesukaran memasuki lembah Kerinci.
Pada perang di Pulau Tengah yang dipimpin oleh seorang ulama ternama, yaitu Haji Ismail dan Haji Husin turut bergabung para hulubalang dari dusun lainnya di Kerinci. Dalam sejarah Kerinci disebutkan bahwa pertempuran di dusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3 bulan). Pulau Tengah diserang Belanda sejak 27 Maret 1903 melalui 3 jurusan, yaitu di timur: Sanggaran Agung-Jujun; utara: Batang Merao-danau Kerinci; barat: Semerap-Lempur Danau.
Masjid Keramat Pulau Tengah merupakan salah satu tempat yang dijadikan benteng pertahanan masyarakat dalam menghadapi Belanda. Serangan terakhir pada Pulau Tengah dilakukan Belanda pada 9 hingga 10 Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, tetapi Masjid Keramat luput terbakar. Perlawanan rakyat ini dapat diselesaikan Belanda.
Selanjutnya, pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Lolo, markas panglima perang Kerinci, Depati Parbo. Pertempuran berlangsung selama 5 hari.
Dalam proses yang tak berkesudahan itu, Belanda berhasil membujuk Depati Parbo mengadakan perundingan damai. Dalam perundingan itulah Depati Parbo ditangkap dan selanjutnya dibuang ke Ternate.
Setelah Kerinci aman pada 1927, atas permohonan para kepala mendapo di Kerinci pada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci.
Pada 1929 Panglima Perang Kerinci Depati Parbo menghembuskan nafas terakhir dalam usia 89 tahun. Alamarhum dimakamkan di pemakaman keluarga Dusun Lolo Kecamatan Gunung Raya, bersama sama dengan istri, putra putri dan sanak keluarganya.
*Artikel ini ditulis oleh Risnal Mawardi. Catatan ini bersumber sekaligus sarian dari makalah penulis dalam Dialog Sejarah di Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012. Kajanglako melakukan penyuntingan seperlunya.
kajanglako.com
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Mayor Jenderal H. A.Thalib (1918-1973), seorang Jenderal dan mantan Duta Besar Indonesia pertama di Malaysia, putra alam Kerinci kelahiran Sungai Penuh. Mayor Jenderal H. A.Thalib lahir dari pasangan Muhammad Siah Datuk Singarapi dan Siti Rawi di sebuah Rumah Larik Jajou (Rumah tradisi suku Kerinci), Larik Tengah Dusun Sungai Penuh, kedua orang tua beliau memberi nama Abdul Thalib yang di singkat menjadi A.Thalib, setelah menunaikan rukun Islam ke lima, pada tahun 1953, nama beliau menjadi Haji Abdul Thalib (H. A.Thalib).
Beliau termasuk salah seorang pendiri lembaga Krintji Institut, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan sekolah rakyat, yang kemudian mendirikan sebuah sekolah swasta yang disebut HIS swasta. Pada tahun 1942, A.Thalib sebagain pemimpin muda dengan wawasan dan kesadaran kebangsaaan yang lebih tinggi menyatukan pemuda dari berbagai penjuru Alam Kerinci untuk bergabung dengan nama” Irsadulwatan” atau suara tanah air, untuk menggalang persatuan Pemuda Kerinci didalamnya terbagi berbagai kegiatan seperti teater (tonil) dan musik.
Mayor Jenderal H. A.Thalib putra Sumatera asal Kerinci, Jambi yang berasal dari Dusun Sungai Penuh Kota Sungai Penuh merupakan Tokoh yang disegani sejak masa perjuangan dan pernah menjadi Atase Militer untuk India dan Burma di New Delhi ( 1954 – 1958 ). Kamis 11 April 1968, Putra terbaik Indonesia asal suku Kerinci Provinsi Jambi dilantik oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara Jakarta sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Malaysia.
Pada tanggal 23 Desember 1973, pukul 22.30.Wib disaksikan Istri tercinta Nurdjanah, putra-putri beliau yang ada di Jakarta dan beberapa orang keluarga dan kerabat dekat, Mayor Jenderal H.A.Thalib berpulang ke rahmatullah, dua orang putra beliau Sjahril dan Kamarulharir tidak dapat menyaksikan kepergian almarhum karena masih berada di Jerman dan baru sampai di Jakarta dua hari setelah pemakaman beliau.
Pada tanggal 24 Desember 1973 Proses pemakaman Mayjen. H. A.Thalib dilaksanakan dengan upacara militer, sebelum diserahkan kepada negara untuk di makamkan terlebih dahulu dilaksanakan shalat jenazah yang di imami Buya Hamka. Usai pelaksanaan shalat jenazah, pihak keluarga diwakili Abu Hanifah (kakak Nurdjanah) mewakili keluarga menyerahkan jenazah kepada Hasnan Habib untuk seterusnya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Pemakaman Mayjen H. A. Thalib dilaksanakan dengan Upacara Militer dengan Inspektur Upacara Jenderal Daryatmo dan kata sambutan disampaikan oleh Buya Prof. DR. Hamka.
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
Sultan Thaha Syaifuddin (Jambi, 1816 - Betung Bedarah, Tebo, 26 April 1904) adalah seorang sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Dilahirkan di Keraton Tanah pilih Jambi pada pertengahan tahun 1816. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.
Pada pertempuran di Sungai Aro itu jejak Sultan Thaha tidak diketahui lagi oleh rakyat umum, kecuali oleh pembantunya yang sangat dekat. Sultan Thaha Syaifuddin meninggal pada tanggal 26 April 1904 dan dimakamkan di Muara Tebo, Jambi. Namanya diabadikan untuk Bandar Udara Sultan Thaha di Jambi.
Sejarah Daerah Jambi
Part of KESEJAHTERAAN RAKYAT
H SYAMSUDDIN UBAN adalah seorang Militer TNI Angkatan Darat yang pada saat terakhir karirnya dalam Militer berpangkat MAYOR dan diberikan gelar ANUMERTA setelah beliau meninggal dunia.
Diterangkan bahwa Jembatan Mayor Syamsuddin Uban di Kabupaten Merangin turut menjadi saksi pada saat Agresi Militer Belanda II di Indonesia. Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Setelah Agresi Militer Belanda II usai pada tahun 1970 atas hadiah dari PANGLIMA KODAM IV SRIWIJAYA ( saat ini KODAM MILITER II / SRIWIJAYA ) mengutus Pasukan ZENI (kalau sekarang bagian dari PU red), Jembatan Syamsuddin Uban kembali dibangun secara berkesinambungan dan memakan waktu tidak kurang dari 1 tahun.
Selanjutnya MAYOR SYAMSUDDIN UBAN juga pernah menjabat sebagi Bupati Merangin (saat itu Kabupaten Sarolangun Bangko disingkat SARKO) periode tahun 1968 sd 1971, Nama besar beliau juga di abadikan sebagai sebuah jalan di Provinsi jambi.